Header Ads

Ahlussunah Wal Jama'ah dan Amaliyah An-Nahdliyah

RaydaPMII- Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran pemahaman teologis (Aqidah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, dan Syi’ah. Pemahaman teologi Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya (Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini tentu dapat dibuktikan melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.

    Sebagai anggota/ kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang sekian fase berproses, sudah sepatutnya kita mengerti bahwasanya Aswaja merupakan nafas pergerakan yang dijadikan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) dan metode bergerak (manhaj al-harakah). Maka dari itu, penting bagi kita untuk mengerti apa itu aswaja dengan segala teori-teorinya.

Mari kita bahas satu persatu, pembaca yang budiman.

1. Pengertian Ahlussunah Wal Jama’ah
    Pengertian Ahlussunah wal jama'ah ( Aswaja) itu di bagi menjadi dua yaitu secara bahasa ( etimologi) dan secara istilah ( terminologi). Secara bahasa ahlussunah wal jama'ah berasal dari bahasa Arab yaitu ahl, Al-sunah dan al- jama'ah. Alh yaitu keluarga,kelompok , as- sunah yaitu tindakan nabi, perilaku kehidupan, sedangkan Al-jama'ah yaitu sekelompok orang atau sekumpulan orang. Jadi Ahlussunah wal jama'ah yaitu sekelompok orang yang mengikuti sunah nabi Muhammad Saw, para sahabat, dan tabiin baik dalam bidang fiqih, akidah, maupun tasawuf.

Definisi Ahlussunah wal jama'ah dibagi menjadi 2 yaitu secara umum dan khusus:

a. Secara umum ahlussunah wal jama'ah yaitu satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

b. Secara khusus ahlussunah wal jama'ah yaitu Golongan yang mempunyai I‟tikad/ keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya‟iroh dan Maturidiyah.

    Ahlussunah wal jama'ah secara istilah ( terminologi) as- sunah yaitu penganut nabi Muhammad Saw yaitu segala sesuatu yang datang dari nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan. Al-jama'ah yaitu i'tiqad para sahabat nabi yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat nabi pada masa Khulafaur Rosyidin ( abu bakar,Umar,utsm Utsman dan Ali). Jadi Ahlussunah wal jama'ah yaitu sekelompok atau golongan yang mengikuti amaliah nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya.

    Ahlussunah Wal Jam’ah bukanlah sebuah madzhab, yang dalam masalah akidah mengikuti imam Abu Hasan Al-Asy’ari atau Abu Mansur Al-Maturidi. Dalam praktek peribadatan (fiqih) mengikuti salah satu madzhab empat yaitu imam Maliki, Hambali, Syafii, atau Hanafi, dan dalam bertasawuf mengikuti imam Junaid al Baghdadi atau imam Al-Ghazali.

2. Sejarah Aswaja

    Kelahiran Aswaja atau lebih tepatnya terminologi Aswaja merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriyah. Munculnya aliran-aliran dalam Islam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut pembunuhan khalifah Usman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Setelah Usman bin Affan wafat kedudukannya sebagai khalifah digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ali mendapat tantangan dari Muawiyah, gubernur damaskus dan keluarga dekat Usman, ia tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Dari persoalan tersebut terjadilah perang Siffin, yaitu perang antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan pengikut Muawiyah bin Abu Sufyan.

    Pertikaian politik antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berakhir dengan tahkim (arbitrase) dimana pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy’ari dan dipihak Muawiyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amr bin Ash. Dalam peristiwa arbitrase ini, pihak Ali bin Abi Thalib awalnya sepakat terkait pelepasan jabatan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib untuk kemudian khalifah berikutnya akan dipilih melalui mufakat berdasarkan hukum-hukum Alquran. Namun, setelah khalifah Ali bin Abi Thalib melepaskan jabatannya sebagai khalifah, Amr bin Ash (ahli politik dari pihak Muawiyah) justru mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah secara tidak resmi.

    Dari hasil arbitrase ini mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama adalah golongan yang keluar dari pihak Ali, menolak takhim dan menyatakann Ali, Muawiyah, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena meninggalkan hokum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij. Sedangkan kubu kedua taitu pengikut setia Ali, mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah SAW yang merupakan sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah SAW. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah.

    Pada tahun 40 H atau 661 M, khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh seorang fanatic khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam seorang seorang penghafal Quran, sering berpuasa, ahli ibadah, namun karena fanatisme yang kuat membuatnya buta dan sadis.

    Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal aqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah digantikan oleh putranya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Namun Hasan hanya menjabat dua tahun sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abu Sufyan karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Hasan adalah ‘am al jamaah atau tahun persatuan.

    Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras kelompok Syiah dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayyah. Perselisihan makin memuncak manakala Muawiyah mengumumkan pergantian sistem khilafah menjadi monarki absolut dengan menunjuk Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah berikutnya.

    Seiring berjalannya waktu, kondisi politik dan sosialnya membawa umat Islam kepada aliran-aliran dan doktrin-doktrin yang baru. Ada Murjiah yang tidak setuju dengan pendapat kaum Khawarij yang menghukumi kafir orang-orang yang melakukan dan menyetujui tahkim, kemudian muncul aliran Jabariyah (fatalism) dan aliran Qadariyah (free act and free will). Jabariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan dan manusia hanya bisa mengikutinya. Sedangkan Qadariyah berpendapat sebaliknya, bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia itu sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan.

    Setelah Jabariyah dan Qadariyah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan aliran Qadariyah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah SWT. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan sifat, hal ini berarti telah syirik dan menduakan Allah SWT.

    Lahirnya aliran-aliran ekstrim setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan-persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekasiaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

       ASWAJA muncul sebagai reaksi terhadap banyaknya penyimpangan dari doktrin firqoh-firqoh sebelumnya. Sistem pemahaman Islam menurut Ahlussunah Wal Jama’ah sebenarnya sudah ada dan sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. dan Khulafaurrasyidin. Namun eksistensi dari Ahlussunah Wal Jama’ah mulai menonjol setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah.
    
    Tokoh utama yang juga pendiri aliran ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi. Dua tokoh Sunni ini kemudian dalam perkembangannya ajaran mereka menjadi doktrin penting dalam aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah.

    Hadis riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu orang-orang yang menganut ajaran Nabi SAW dan ajaran para sahabat. Syihab al-Khafaji dalam kitab “Nasim al-Riyadh” berkata, bahwa golongan yang selamat adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Ahlussunah Wal Jama’ah adalah golongan yang dalam bidang tauhid mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi, dalam bidang fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Al-Ghazali atau Imam Junaid Al-Bagdadi.

3. Nilai-nilai Ahlussunah wal jama'ah

    Beberapa nilai-nilai ASWAJA (Ahlu alSunnah wal-Jama’ah), yaitu: tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil), yang dijadikan pedoman dalam bertindak di segala aspek kehidupan umat Islam. Keempat nilai tersebut harus direvitalisasikan dan diimplementasik dalam kehidupan yaitu ;

a. Tawashut ( moderat)

    Tawassuth yaitu jalan tengah, tidak memilih kanan atau memilih kiri. Dalam faham ASWAJA, baik di bidang hukum (syari’ah), bidang akidah, maupun bidang akhlak, selalu dikedepankan prinsip jalan tengah yang moderat. Juga di bidang kemasyarakatan selalu menempatkan diri pada prinsip hidup menjunjung tinggi keharusan berlaku adil, lurus di tengah-tengah kehidupan bersama, sehingga ia menjadi panutan dan menghindari segala bentuk pendekatan ekstrim. Tasawuf ini merupakan landasan agar manusia tidak terjebak dalam satu pemikiran saja.Dengan cara menggali dan mengelaborasi dari berbagai metodologi dan berbagai disiplin ilmu, baik dari Islam maupun dari Barat, serta mendialogkan agama, filsafat, dan sains agar terjadi keseimbangan, namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai agama, dengan tidak menutup diri dan bersikap konservatif terhadap modernisasi. Sikap Tawassuth ini didasarkan kepada firman Alloh Q.S Al-Baqarah ayat 143.

b. Tawazun ( seimbang)

    Tawazun disini yaitu menjaga keseimbangan dan keselarasan sehingga terjaga keseimbangannya baik keseimbangan dunia dan akhirat, kepentingan pribadi dan organisasi atau masyarakat. Serta keseimbangan dalam memanfaatkan ilmu umum dan ilmu agama. keseimbangn disini merupakan bentuk tidak berat sebelah tidak merugikan sebelah, dan tidak menguntungkan sebelah. Keseimbangan menjadikan manusia bersikap luwes, tidak terburu-buru menyimpulkan sesuatu, akan tetapi melalui kajian yang matang dan seimbang. Dasarnya pada Q.S Al-Haddad ayat 25.

c. Ta'adl ( adil)

    Ta'adll yaitu adil, tegak lurus, atau menempatkan sesuatu pada tempatnya. Menempatkan sesuatu pada tempatnya adalah salah satu tujuan dari syari’at Islam. Dalam bidang hukum, misalnya, suatu tindakan yang salah harus dikatakan salah, sedangkan hal yang benar harus dikatakan benar, kemudian diberikan konsekuensi hukuman yang tepat, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Pengimplementasian dari taadl juga melihat konteks dalam realita, dimana sesuatu hal akan dipandang dari berbagai sudut pandang. Dalam kehidupan sosial, rakyat sebagai komponen yang paling penting dalam negara demokrasi harus mendapatkan keadilan dari pemerintah, sesuai dengan hak-haknya dengan terimplementasikan undang-undang sebagaimana mestinya, tanpa diskriminasi. Sikap T'adl ini didasarkan pada Q.S -Maidah ayat 8.

d. Tasamuh ( toleransi)

    Tasamuh yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah (bukan hal pokok), sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu dan saling memusuhi; justru sebaliknya, akan tercipta persaudaraan yang Islami (ukhuwwah Islamiyyah) dengan mentoleransi perbedaan yang ada, bahkan pada keyakinan sekalipun. Toleransi terhadap perbedaan pendapat, keanekaragaman, baik dalam pemikiran, keyakinan sosial, budaya, agama, bangsa dsb. Toleransi dalam konteks agama itu bukan berarti kompromi akidah, tapi dalam konteks kehiduoan sosialnya dimana kita harus saling menghormati satu sama lain. Dasar tasamuh adalah Q.S Al- Kafirun ayat 6 ,Q.S Ali Imron ayat 85 , Q.S Al-hujarat ayat 13 dan Q.S Al- Baqoroh ayat 30.

4. Amaliyah An-Nahdliyah

a. Pengertian Amaliyah An-Nahdliyah
    Amaliyah Nahdliyah adalah amal perbuatan lahir, baik yang berhubungan dengan Ibadah, Mu’amalah maupun Akhlaq, yang biasa dilakukan oleh kaum Nahdliyyin, bisa jadi secara formal warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama atau bukan.

b. Jenis-jenis Amaliyah An-Nahdliyah
    Secara garis besar, amaliyah nahdliyah dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1. Ushul (pokok/inti)
Inti dari warga Nahdliyin adalah Beraqidah Islamiyah yang meyakini, bahwa :

1) Rukun Iman ada 6
2) Allah adalah Maha Esa
3) Allah mempunyai sifat wajib sebanyak 20, sifat mukhal 20 dan sifat jaiz 1.
4) Allah mempunyai asma’ berjumlah 99 yang dikenal dengan sebutan asma’ul husna.
Inti selanjutnya adalah beribadah dengan baik yang dibangun atas Rukun Islam yang 5, Membangun sendi-sendi aqidah dan melakukan ibadah dengan benar serta sebaik-baiknya, seolah-olah setiap saat melihat Allah atau sekurang-kurangnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

2. Furu’ (cabang/turunan)
Hal yang menyangkut tentang furu’ ini bagi NU sangatlah banyak, yang meliputi amalan-amalan wajib, sunnah, mustahab serta hal-hal yang berhubungan dengan “Fadlail”, semisal :

a. Membaca do’a qunut dalam shalat shubuh, dan dalam shalat witir pada paruh akhir bulan ramadlan.
b. Berbakti kepada orang tua serta menghormati orang sholih, tidak terbatas ketika mereka masih hidup di dunia;
c. Mendo’akan orang yang sudah meninggal dunia;
d. Berjama’ah dalam dzikir dan berdo’a.
e. Melakukan Tawasshul dan Tabarruk.
Dan lain sebagainya.

Wallahu A’lam Bishowab


Penyusun Naskah: Ridwan Nur Rokhim, Yogi Endah P, Lulu Fuada
Editor: Biro Literasi dan Intelektual

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.