Header Ads

Study Gender dan Kelembagaan Kopri

    




RAYDA PMII PURWOKERTO - Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat nan membedakan maskulinitas dan femininitas. Karakeristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin (struktur sosial seperti peran gender), atau identitas gender.
Kata gender berasal dari bahasa Prancis pertengahan gendre yang pada gilirannya berasal dari kata bahasa Latin "genus" yang berarti "jenis" atau "tipe" Kata dalam bahasa Francis modern yang terkait adalah genre (seperti pada genre sexuel) Oxford English Dictionary edisi pertama tahun 1900 menyebutkan bahwa arti awal gender sebagai "jenis" sudah tidak lazim dipakai. Kata gender masih dipakai luas terutama dalam linguistik untuk menyebut gender gramatikal (pengelompokan kata benda maskulin, feminin, dan netral).

    Arti akademis dari kata "gender" dalam konteks peran sosial pria dan wanita kurang lebih berasal dari tahun 1945. Gerakan feminis tahun 1970-an kemudian mengembangkan dan mempopulerkan kata tersebut. Kata gender juga masih banyak digunakan sebagai pengganti dari kata seks atau jenis kelamin (sebagai kategori biologi), meskipun terdapat beberapa pihak yang berusaha mempertahankan perbedaan di antara keduanya.

A.Ideologi Gender

    Pada dasarnya, semua orang setuju bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda. Ketika kita melihat karakteristik masing-masing tubuh, kita dapat dengan mudah membedakannya. Perbedaan alami yang disebut perbedaan jenis kelamin sebenarnya hanyalah perbedaan biologis bawaan antara perempuan dan laki-laki.

    Kalau saja perbedaan tidak menimbulkan ketidakadilan, tidak menimbulkan konflik dan tidak saling menindas dan menindas, mungkin tidak akan ada masalah. Faktanya, perbedaan ini meluas ke nuansa satu dan terlihat lebih kuat, dan serbaguna daripada yang lain. Inilah penyebab ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 

    Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, yang juga dikenal sebagai kesetaraan gender, telah menjadi topik hangat diskusi akhir-akhir ini. Setelah perjalanan panjang untuk meyakinkan dunia bahwa perempuan didiskriminasi hanya karena perbedaan gender dan sosial, pada tahun 1979, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya sepakat untuk mengadakan konferensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Konferensi ini sebenarnya telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1984 dalam UU No. Juli 1984, namun ia jarang disosialisasikan dengan baik oleh negara. Baik konvensi maupun undang-undang tidak dapat menghapus diskriminasi yang harus dialami perempuan. Di seluruh dunia, masih ada perempuan yang menjadi sasaran segala bentuk kekerasan (kekerasan fisik, mental, sosial dan ekonomi) baik di rumah, di tempat kerja maupun di masyarakat.

    Penting untuk memahami dan menganalisis gender untuk melihat apakah perbedaan yang tidak wajar ini mengarah pada diskriminasi perbedaan yang merugikan dan menyusahkan perempuan. Apakah gender benar-benar memposisikan perempuan tidak setara dan lebih rendah dari laki-laki?

B.Perbedaan Gender dan Seks

    Gender adalah himpunan atribut sosial yang diasosiasikan dengan laki-laki dan perempuan, misalnya laki-laki digambarkan memiliki ciri-ciri maskulin seperti tangguh, kuat, rasional, gagah. Sedangkan perempuan digambarkan memiliki sifat-sifat feminin seperti halus, lemah, sensitif, sopan, penakut. Perbedaan ini dipelajari dari keluarga, teman, tokoh masyarakat, organisasi agama dan budaya, sekolah, tempat kerja, iklan dan media.

    Gender berbeda dengan seks. Seks adalah jenis kelamin laki-laki dan perempuan dilihat secara biologis. Sedangkan gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial, masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku, tugas, hak dan fungsi yang dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Biasanya isu gender muncul sebagai akibat suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan gender (Suharti, 1995).

Istilah “gender” diperkenalkan untuk mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Jadi rumusan ‘gender’ dalam hal ini merujuk pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan laki-laki yang merupakan bentukan sosial, perbedaan-perbedaan yang tetap muncul meskipun tidak di sebabkan oleh perbedaan-perbedaan biologis yang menyangkut jenis kelamin (McDonald dkk., 1999).

    Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih, 1999). 
Dalam proses yang panjang, sosialisasi gender pada akhirnya dipandang sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa di-ubah lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Hal ini terkadang membuat perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Bahkan budaya yang telah  lama mapan, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang dan bersifat kedalam atau ranah domestik. 

    Diskriminasi gender memang menjadi ciri khas hampir di setiap masyarakat manapun yang menganut sistem patriarki. Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau ‘patriakh (patriach)’. Istilah patriarki ini digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (Bhasin, 1996).
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termani-festasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting alam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi peran gender (Fakih, 1999).

    Manifestasi ketidaksetaraan gender tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena saling bergantung dan berinteraksi, saling mempengaruhi secara dialektis. Manifestasi ketidaksetaraan gender ini sering disosialisasikan baik pada laki-laki maupun perempuan, menyebabkan perempuan lambat laun terbiasa dan lambat laun menjadi sadar akan peran gender sebagai hal yang wajar. Lambat laun, terciptalah struktur dan sistem ketidaksetaraan gender yang diterima dan masyarakat tidak lagi merasa ada yang salah. Masalah ini terkait dengan kepentingan kelas, itulah sebabnya banyak kelas menengah dan orang terpelajar yang ingin mempertahankan sistem dan struktur.

  Ketidakadilan gender ini dikonstruksi melalui aturan hukum formal dan norma-norma yang tidak tertulis. Aturan hukum formal yang membuat ideologi resmi berlaku pada masyarakat dan institusi, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis yang dipahami membentuk sikap dan perilaku seharihari dalam dunia nyata (Kabeer, 2005). Dua cara sosial ini, dianggap merupakan proses lazim yang umumnya diterima masyarakat meskipun terjadi di luar batas-batas keadilan hakiki. Sementara harus disadari bahwa aturan hukum formal adalah bentuk praktek kekuasaan yang umumnya dibuat untuk kepentingan dan tujuan yang menguntungkan si pembuat hukum tersebut. 
Ketidakadilan gender membentuk struktur hubungan produksi dan reproduksi dalam kelas-kelas yang berbeda. Contohnya: laki-laki mempunyai peran utama sebagai pencari nafkah rumah tangga sekaligus memainkan peranan yang cukup penting dalam menciptakan reproduksi pekerjaan yang tidak berbayar dalam ruang domestik yang umumnya dikaitkan dengan fungsi biologis perempuan sebagai perawat keluarga. Secara kemasyarakatan peran ini diadopsi juga dalam kaitan tanggung jawab peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam hal ini terjadi di ketidakadilan sumber daya laki-laki dan perempuan dalam hal menjalankan tanggung jawab, pengupahan dan pengakuan terhadap kontribusi masing-masing (Kabeer, 2005).

    Merasa bahwa perempuan diperlakukan tidak adil di masyarakat karena adanya konsep gender membuat sebagian feminis ahli psikologi sadar dan menganalisis kesalahan dari teori gender. Mereka mengajak seluruh masyarakat terutama kaum perempuan untuk sadar bahwa selama ini mereka diperlakukan tidak adil oleh konsep gender dan mengembangkan suatu konsep baru yang mengikis perbedaan perlakuan bagi perempuan dan laki-laki. Harus disadari bahwa konsep atau ideology gender membuat manusia jadi terkotak-kotak. Konsep baru ini diharapkan dapat memberi kesempatan dan kedudukan yang sejajar bagi perempuan maupun laki-laki untuk membuat keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus berorientasi pada konsep gender (Millar, 1992).

C.Gender dalam Islam

    Di dalam Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi bahwa "Allah swt menciptakan manusia yakni laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan mempunyai kedudukan yang paling mulia", oleh karena itu, kedok antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan hanyalah dari segi biologisnya. Antara kedudukan, derajat, dan peran di mata Tuhan itu sama. Jadi, antara laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai tanggungjawab dalam kehidupan sosial dan potensi dalam meraih sebuah mimpi dalam mencerdaskan dirinya dan bangsanya. Hanya saja peranan yang berbeda sesuai dengan kodrat yang telah dimiliki masing-masing.

D.Gerakan Perempuan

    Gerakan perempuan dimulai dari perjuangan buruh di New York bermula saat memasuki abad ke-20, di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City.

    Para perempuan yang merupakan buruh garmen tersebut memprotes kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini lantas membentuk serikat bunuh pada bulan yang sama dua tahun kemudian.

    Gerakan-gerakan perempuan mulai bermunculan saat memasuki abad ke-20. Gerakan perempuan di Amerika mulai menjalin kerja sama dengan gerakan perempuan lainnya. Kerja sama ini dilakukan untuk saling memperkuat mereka dalam menyuarakan isu perempuan.

    Para aktivis politik feminis pada umumnya mengkampanyekan isu-isu seperti hak reproduksi, (termasuk hak yang tidak terbatas untuk memilih aborsi, menghapus undang-undang yang membatasi aborsi dan mendapatkan akses kontrasepsi), kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan hal-hal yang berkaitan dengan keibuan (maternity leave), kesetaraan gaji, pelecehan seksual (sexual harassment), pelecehan di jalan, diskriminasi dan kekerasan seksual (sexual violence). Isu-isu ini dikaji dalam sudut pandang feminisme, termasuk isu-isu patriarkhi dan penindasan.

    Sekitar tahun 1960an dan 1970an, kebanyakan dari feminisme dan teori feminis telah disusun dan difokuskan pada permasalahan yang dihadapi oleh wanita-wanita barat, ras kulit putih dan kelas menengah. Kemudian permasalahan-permasalahan tersebut diklaim sebagai persoalan universal mewakili seluruh wanita. Sejak itu, banyak teori-teori feminis yang menantang asumsi bahwa "perempuan" merupakan kelompok individu-individu yang serba sama dengan kepentingan yang serupa. Para aktivis feminis muncul dari beragam komunitas dan teori-teorinya mulai merambah kepada lintas gender dengan berbagai identitas sosial lainnya, seperti ras dan kelas (kasta). Banyak kalangan feminis saat ini berargumen bahwa feminisme adalah gerakan yang muncul dari lapisan bawah yang berusaha melampaui batasan-batasan yang didasarkan pada kelas sosial, ras, budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.

E.Kelembagaan Kopri 

PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon). 

1.         Landasan Normatif

    Dalam Bab VII Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 20 dinyatakan, ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 keseluruhan anggota pengurus; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus menempatkan anggota perempuan minimal 1/3 dari keseluruhan anggota.

    Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ada dalam bab VIII Pasal 21 ayat (1) Pemberdayaan Perempuan PMII diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu KOPRI (Korp PMII Putri), dan ayat (2) Wadah Perempuan tersebut diatas selanjutnya diataur dalam Peraturan Organisasi (PO).

    Adapun wadah pemberdayaan anggota putri PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana dalam Bab IX tentang Wadah Perempuan. Dalam Pasal 22, ayat (1): Wadah perempuan bernama KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader-kader Putri PMII melalui Kelompok Kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan pada 29 September 2003 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta dan merupakan kelanjutan sejarah dari KOPRI yang didirikan pada 26 November 1967; dan ayat (4) KOPRI bersifat semi otonom dalam hubungannya dengan PMII.

    Struktur KOPRI sebagaimana struktur PMII, terdiri dari : PB KOPRI, PKC KOPRI dan PC KOPRI.

2.      Visi dan Misi KOPRI

    Visi KOPRI adalah Terciptanya masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

    Misi KOPRI adalah Mengideologisasikan nilai keadilan gender dan mengkonsolidasikan gerakan perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan gender.

3.      Sejarah Kopri

Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputriandengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada kongres VII di Medan.

Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI dengan suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.

4.      Ketua Umum KOPRI dari Masa ke Masa

Berikut ini daftar nama-nama Ketua Umum PB KOPRI sepanjang masa (1967-sekarang).

1.         Mahmudah Nahrowi 1967-1968
2.       Tien Hartini 1968-1970
3.       Ismi Maryam BA 1970
4.       Zazilah Rahman BA 1971
5.       Siti Fatimah Bsc 1972
6.       Adiba Hamid 1973
7.       Wus'ah Suralaga 1973-1977
8.       Choirunnisa Yafishsham 1977
9.       Fadilah Suralaga 1977-1981
10.     Ida Farida 1981
11.       Lilis Nurul Husna 1981-1984
12.     Iis Kholila 1985-1988
13.     Iriani Suaida 1988
14.     Dra. Khofifah Indar parawansa 1988-1991
15.     Dra. Ulha Soraya 1991
16.     Jauharoh Haddad 1991-1994
17.     Diana Mutiah 1994-1997
18.     Luluk Nur Hamidah 1997-2000
19.     Umi Wahyuni 2000-2003
20.   Efri Nasution 2003
21.     Winarti 2003-2005
22.    Ai’ Maryati Shalihah 2005-2007
23.   Eem Marzu Hiz 2008-2010

F. STRATEGI PENGEMBANGAN KOPRI

    Korp PMII Putri, sebagai wadah kader perempuan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meyakini perannya sebagai khalifatullah fil ardl dan keberadaannya akan menjadi rahmat bagi segenap alam. Karenanya keberadaan KOPRI harus bisa menjadi sesuatu yang bisa dirasakan kemanfaatannya tidak hanya oleh kader-kader PMII baik laki-laki maupun perempuan tetapi juga bagi seluruh Umat yang ada di bumi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

    Relasi PMII dan KOPRI sebenarnya tidak berbenturan, hanya secara gerakan, perempuan mempunyai wilayah sendiri. Hanya koordinasi yang sifatnya tidak begitu prinsip. Yang penting selama tidak bertentang ini harus tetap didukung. KOPRI menempatkan teori gender hanya sebagai analisa saja agar kita tidak terbelenggu dengan budaya patriarkal sehingga perempuan bisa menentukan gerakannya sesuai dengan kebutuhan perempuan tersebut. Wacana gender sebagai alat saja bukan sebagai tujuan. Dan wacana gender disesuaikan dengan wacana keislaman dan kearifan lokal.

    Prosentase perempuan di setiap Mapaba PMII ada 60%. Cukup banyak namun dalam pengkaderan kita belum mumpuni mengggarapnya. Paling banter hanya bisa survive 5 kader di setiap cabang. Karena kita akhir-akhir ini kehilangan sosok-sosok kepemipinan perempuan di tingkat cabang, kota, dan kabupaten se-Jawa Tengah yang bisa berkomunikasi dengan PB dan basis. 
Tugas utama KOPRI PMII adalah bagaimana mensinergikan kader perempuan PMII yang cukup banyak dengan wadah yang berbeda-beda. Yakni, sesuai dengan local genius yang berbeda di masing-masing cabang. Juga mensinergikan antara PB dan pengurus di bawahnya (PKC, PC, PK dan PR).


wallahu a'lam bi showab




Referensi
Hermawati, T. (2007). Budaya Jawa dan kesetaraan gender.


Penyusun Naskah: Lubna Laila, Rahma Herlei Suranto, Bagus M.A
Editor: Biro Literasi dan Intelektual

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.