Header Ads

Lebam


‘’Beri aku sepuluh pemuda yang pemaaf dan pemaklum

Maka akan kugoncangkan hustle cultere dengan segala cucunguknya’’


Pagi ini cukup struggle, dengan mata bengkak sisa begadang semalam, Aku malas membuka ponsel demi stabilitas penglihatan.

Sekian jam kemudian, selepas netra membaik, kubuka data dan mulai mengecek watssapp, agak malas sebetulnya, karena sekali buka, sekian beban langsung terserap semua pada kepala dan tenaga.

Lantas, panggilan grup watssap berhasil membuat ponsel ngelagg. 

Kudiamkan sejenak demi kewarasan sistem, sementara kawan baikku; Purwa mulai menjapri untuk lekas gabung. Dengan sisa lelah dan mood yang rawan jatuh, kupencet tombol merah untuk bergabung. 

‘’Kalo misal di daerah sini gimana, gaes?’’ seloroh salah satu suara dari panggilan.

‘’Iya bisa, btw terkait penyewaan alat syuting juga perlu, silahkan yang belum lunas patungan segera dilunasi demi kepentingan bersama,’’ sahut suara yang lain.

Lalu berbagai suara yang random topiknya mulai bersahutan. Aku menyimak saja, sembari mulai beradaptasi sampai mana topik diperbincangkan. 

Sampai pada akhirnya perutku mulai memberi kode untuk ‘’settor pagi’’ dan meninggalkan ponsel di dapur komplek guna menuju toilett.

Beberapa waktu berselang, kegaduhan terdengar dari arah dapur komplek. Intan, tetangga kamarku teriak memanggil secara berkala.

‘’Mbak Rahma, sutradara?’’ tanyanya padaku dengan suara sumbang

Aku menyahut dari jauh ‘’iyaa,’’

‘’Mbakk, ini gimana? pada emosi nyariin mbak Rahma?’’ teriak Intan lagi

Dengan perut yang belum lega, dan hajat yang belum paripurna, lekas kusudahi ritual yang manusiawi ini.

Bergegas kuambil ponsel di dapur komplek menuju kamar, sembari bersungut-sungut menyumpah serapahi realita tanpa tau harus ke mana melampiaskan kekesalannya.

Sembari menahan mulas, kembali kusimak penggilan grup.

Masih serandom itu percakapannya, lalu beberapa suara sempat menyenggolku untuk bicara, dengan mengutarakan kekecewaannya di forum. 

‘’Astaghfirulloh, shyshaming amat, ‘’ ujar rekan kamarku yang ternyata diam-diam menyimak forum online itu. 

Aku tertawa kecut. Geleng-geleng kepala.

‘’Gimana ini sutradara, masih menyimak apa engga? Mohon maaf yah sebelumnya sutradara kan suatu peran yang urgent jadi diperhatikan lah, itu juga ada grup gunanya untuk disimak, jangan malah dicuekin, gimana ini?’’ ujar Rikha, manager produksi projeck film yang coming soon kami garap.

‘’Halo-halo, lagi di mana sih?’’ tambahnya.

Lalu segala suara lain riuh rendah terdengar, beberapa kutangkap konotasi negative yang semakin mengkeruhkan suasana. 

Egoku hampir meledak diujung ubun-ubun, membayangkan bagaimana keteterannya memanagement waktu, sementara uts sedang berlangsung dan deadline berjibun silih berganti dengan tenggat yang kurang manusiawi, belum lagi perkara komunitas, perkara organisasi yang belum tuntas, semalam dibantai habis-habisan dengan jobdesk di balik layar, dan kali ini didiskreditkan di forum terlabelkan ketidak-becusan. 

Andai saja naruto benar-benar bukan sekedar anime, barangkali Aku hendak belajar kage bunshin no justu darinya. Namun, bersamaan dengan konflik batin yang membelengguku, atas ke burn outan ini, aku tak berkelit untuk mencari pembenaran apapun. 

Sebelum menjadi sutradara, job deskku sesungguhnya adalah skrip writer. 

Pernah hampir jadi, kucipta dua ide yang tidak disepakati. Katanya bahasaku terlalu ketinggian, sulit untuk diimprovisasi, topiknya terlalu memberatkan, scene yang ribet, dan lain sebagainya.

Aku yang perfeksionis pada saat itu, masih mampu mereduksi ego untuk sepakat ganti skenario cerita. Demi lancarnya alur syutting, Aku mengalah pada forum dengan suara mayoritas.

Konsep berubah, skrip writer diganti.

Aku dipindah menjadi sutradara. 

Baiklah, aku sangat legowo sebetulnya. 

Apapun, demi terciptanya harmonisasi kelompok. 

Pasti aku sepakat.

Lalu syutting berjalan, bersamaan dengan berbagai tanggung jawab lain yang harus kuemban. Tidak mudah membagi skala prioritas, antara proker organisasi, komunitas, kegiatan akademik, dan aktivitas di pondok.

Waktu rehat berkurang, mata berkunang-kunang, cuaca hujan- panas yang rawan menumbangkan. Kuhadapi segalanya dengan segenap hati mendalam. 

Sempat beberapa kali aku demam, radang, tergeletak di pondok dengan skill bertahan hidup pas-pasan. Mencoba baik-baik saja tiap ditelepon orang rumah, membagi antara font stage dan back stage serapih mungkin agar tidak menimbulkan kekhawatiran.

Tapi…

Kulit yang lebam, akan selangkah lebih sakit jika disentuh daripada kulit normal.

Begitu pula kondisi fisik, mental, dan batin.

Entahlah, dalam keadaan lelah tanpa pemakluman dari siapapun. Tanpa empati yang mempertanyakan mengapa, apa saja yang kuhadapi, apakah aku butuh rehat? Atau minimal tidak melupakan tiga kalimat legend: tolong, maaf, dan terima kasih. Aku meledak. 

Dengan nada tinggi, dengan luapan emosi yang kupendam akhir-akhir ini, dengan segala penat yang kusimpan rapi, aku hampir memaki.

‘’AKU ADA! TADI HABIS DARI KAMAR MANDI! GANTI SAJA SUTRADARANYA!’’ 

Selepas bicara agak meninggi, panggilan kumute, takut menjadikan forum sebagai pelampiasan lelah dari yang lalu-lalu. 

Sebelum perkara ini terjadi, Aku sempat mendengar pula opini yang kurang mengenakan hati, tapi masih mampu kututup telinga dan mencoba profesionalitas. 

Aku bermonolog diri, bertekad untuk tidak sudi dirobotkan siapapun, disettir siapapun, dan lebih love self. Aku mempertimbangkan tanggung jawab mana yang wort it untuk kuoptimalkan tanpa terjebak toxic produktivity. 

Dalam hal ini, aku tidak berdalih pembelaan. 

Perkara ini semacam pedang bermata dua yang sama-sama memiliki peluang merugikan.

Dan pada puncak lelah yang tidak bisa kukendalikan, pedang ini bisa spontanitas meluncur ke arah siapapun. 

Ke mereka, atau ke diriku sendiri.

Kemarin pedang bermata dua ini masih dalam jangkauan dikotomi kendaliku.

Runcingnya kutancapkan pada ego dan hampir menumbangkan tenaga, energi, dan mental.

Tak kuceritakan pada siapapun penat ini, Aku tau semua manusia punya penatnya masing-masing.

Tapi bukankah indah, membagikan penat satu sama lain?

Saling mengerti dan mengisi.

Saling berempati dan memberi dukungan.

Saling memaklumi dan tidak menghakimi.

Bukankah begitu cara kerjanya menjadi manusia?

Mendudukan harga manusia pada tempatnya.

Memanusiakan manusia, saling merangkul bukan memukul.

Sekali lagi, cerita ini bukan suatu ujaran kebencian.

Melainkan sebuah kampanye untuk saling mengerti, bukan menunggangi.

Aku keluar dari forum panggilan.

‘’Aku minta maaf, atas minimnya kecerdasan emosional yang kumiliki, dan atas kepremature-an dalam naluri menyutradara scene demi scene. Aku masih sudi berkontribusi, tapi biarkan dulu Aku menjauhkan diri sejenak, demi melindungi banyak hati dari segala perkataan yang menyakiti, ‘’ ujarku setelah mematikan ponsel. 

Malamnya, aku bertemu Purwa, ia menjemputku kuliah pulang-pergi.

Ada kecanggungan yang berusaha kutepiskan, dengan keceriaan yang kuciptakan sepenuh tenaga, akhirnya berhasil meretakkan sekat-sekat yang hampir tercipta.

Seusai UTS Mata kuliah fikih kontemporer, kami mampir ke kedai Es Teh Bae, memesan choco milk dan mengobrol tipis-tipis.  

‘’Ra, gimana perasaanmu tadi pagi?’’ ia mulai membuka topik.

Aku terdiam sejenak, mencoba role playying untuk nampak bersahaja.

‘’Kenapa? Aku kliatan emosi banget yah, tadi pagi?’’ celotehku.

Purwa tersenyum kikuk, ‘’Aku pernah bilang ke Rikha, basicly, kamu harusnya script writer.’’

‘’Its okay, aku legowo kok kalo kalian legowo. Lagipula, konsepnya kan dari Ningrum, jadi emang lebih bijak Ningrum yang menjelma sutradara. ‘’

Tidak ada lagi percakapan apapun setelahnya, kami bergelud dengan pikiran masing-masing. Aku tidak fake, sebetulnya aku sepakat jika Ningrum menjadi sutradaranya, yang jadi persoalan hanyalah multi tafsir penyampaian dan dampak panjang dari misskomm yang diredam. 

Di lain sisi, aku bersyukur masih ada satu manusia yang mempertanyakan bagaimana kondisi rasaku. Bukankah yang membedakan antara manusia dan robot terletak pada perasaannya?

Rintik sendu mengguyur jalan Ahmad Yani, beriringan dengan itu rintik di kelopak mataku turun. Di sini lah bentuk seni dalam sikap, aku menikmati sensitivitas setiap perasaan yang berguguran, karena dari sana aku merasa berhasil mengaktualisasikan sebuah ekspresi.

Sedih, marah, bahagia, adalah bagian dari dinamika hidup.

Dan pernahkah, kau bahagia dan terluka dalam satu helaan nafas?

Motor Purwa sampai pada tempatku pulang, saatnya turun dan mengungkapkan segala inti dari yang kurasakan. 

‘’Terima kasih atas segala pemaklumanmu, hati hati di jalan dan sampai jumpa lain kesempatan.’’ 


Penulis: Lubna Laila

4 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.