Menggugat Ketimpangan Agraria: PMII dan Semangat UUPA 1960
![]() |
Fahrul Rojik, Demisioner Ketua Rayon Dakwah (2018). Foto: Dok. Pribadi |
Oleh: Fahrul Rojik
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun hingga saat ini masih menghadapi pekerjaan rumah besar dalam menyelesaikan konflik agraria serta mengatasi ketimpangan dalam penguasaan lahan. Permasalahan ini umumnya dipicu oleh alih fungsi lahan secara masif serta kebijakan yang cenderung lebih berpihak pada kepentingan korporasi dibandingkan pada kepentingan rakyat.
Dalam konteks ini, organisasi mahasiswa memiliki peran strategis dalam mengawal dan memperjuangkan kebijakan agraria serta hak atas tanah yang berkeadilan. Hal ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, yang menjadi landasan hukum utama dalam pengelolaan agraria di Indonesia. UUPA 1960 menegaskan prinsip-prinsip dasar seperti Hak Menguasai oleh Negara (Pasal 2) yang wajib digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, serta larangan penguasaan tanah secara berlebihan (Pasal 7) guna mencegah praktik monopoli lahan. Undang-undang ini juga mendorong pelaksanaan redistribusi tanah melalui gerakan reforma agraria berbasis inisiatif rakyat (land reform by leverage).
Namun demikian, implementasi UUPA 1960 seringkali terhambat oleh tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi, yang berdampak pada masih berlangsungnya ketimpangan struktural dalam penguasaan lahan. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 1% penduduk Indonesia menguasai lebih dari 50% tanah produktif nasional. Sementara itu, sebagian besar petani hanya memiliki atau menggarap lahan kurang dari 0,5 hektare, bahkan tidak memiliki lahan sama sekali.
Ketimpangan agraria ini seharusnya menjadi kegelisahan kolektif organisasi mahasiswa seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebagai wujud konkret dari nilai-nilai dan cita-cita pendirian organisasi. PMII seharusnya menjadikan isu agraria sebagai bagian dari perjuangan sosial, dengan menginternalisasi nilai-nilai dasar pergerakan (NDP) yang mencakup habluminallah, habluminannas, dan hablum minal ‘alam—relasi yang harmonis antara manusia, Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan.
Selain ketimpangan struktural, konflik agraria di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan. Sepanjang tahun 2024, KPA mencatat sebanyak 295 konflik agraria, meningkat sebesar 21% dibandingkan tahun sebelumnya. Konflik-konflik ini mencakup area seluas 1,1 juta hektare dan berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa. Sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, menjadi penyumbang terbesar dengan 111 kasus. Penanganan konflik ini juga diwarnai dengan pendekatan represif oleh aparat keamanan, yang menyebabkan 556 warga menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi, termasuk 399 orang yang dikriminalisasi, 149 mengalami kekerasan fisik, 4 orang tertembak, dan 4 orang meninggal dunia.
Secara kumulatif, dalam kurun waktu satu dekade (2014–2024), tercatat sebanyak 2.939 konflik agraria dengan total luas mencapai 6,3 juta hektare, serta berdampak pada 1,75 juta rumah tangga di berbagai wilayah Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konflik agraria tertinggi di kawasan Asia, melampaui India, Kamboja, Filipina, Bangladesh, dan Nepal.
Situasi ini semestinya menjadi ladang perjuangan bagi organisasi kemahasiswaan seperti PMII. Nilai-nilai dasar pergerakan tidak seharusnya hanya berhenti sebagai wacana teoritis dalam jenjang kaderisasi, tetapi harus diterjemahkan ke dalam gerakan nyata yang berpihak pada rakyat. PMII perlu menjadikan keresahan dan kepentingan masyarakat sebagai titik tolak perjuangan dan alat analisis sosial-politik, guna mewujudkan keadilan agraria dan kesejahteraan yang merata.
Organisasi mahasiswa memiliki peran krusial sebagai katalisator perubahan sosial, khususnya dalam memperjuangkan hak atas tanah dan keadilan agraria. Dalam konteks ini, organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) memegang posisi strategis dalam mengedukasi, mengorganisasi, serta mengadvokasi masyarakat yang terdampak oleh ketimpangan agraria. Beberapa bentuk kontribusi tersebut antara lain:
- Edukasi dan Literasi Agraria: PMII dapat berperan sebagai agen edukasi yang menyosialisasikan pengetahuan mengenai hak-hak agraria kepada masyarakat, khususnya kelompok rentan di wilayah pedesaan. Upaya ini dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan diskusi publik, pelatihan paralegal agraria, maupun lokakarya tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Kegiatan edukatif semacam ini penting untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak atas tanah mereka.
- Riset dan Penelitian: PMII juga berpotensi menjadi pusat kajian kritis atas isu-isu agraria melalui pelaksanaan riset dan penelitian yang mendalam. Penelitian mengenai konflik agraria, perampasan tanah, serta ketimpangan kepemilikan lahan dapat menjadi dasar advokasi yang kuat. Hasil riset ini dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan.
- Pengorganisasian dan Mobilisasi Masyarakat: Sebagai bagian dari gerakan sosial, PMII dapat berperan dalam mengorganisasi masyarakat terdampak konflik agraria dengan membentuk serikat tani, kelompok advokasi lokal, atau forum dialog rakyat. Selain itu, PMII dapat memfasilitasi aksi-aksi damai sebagai bentuk tekanan moral terhadap pemangku kepentingan agar mendengarkan suara masyarakat. Pengorganisasian ini harus didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan sosial, dan perjuangan kolektif.
- Advokasi Kebijakan dan Litigasi Strategis: Dengan kapasitas kelembagaan yang dimiliki, terutama melalui Lembaga Hukum, HAM, dan Demokrasi di tingkat Pengurus Besar (PB PMII), organisasi ini seharusnya mampu menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Bentuk advokasi kebijakan yang dapat dilakukan meliputi pengajuan petisi, audiensi dengan pembuat kebijakan, hingga pengawalan litigasi strategis terhadap kebijakan agraria yang dinilai merugikan masyarakat. Pendekatan ini penting untuk memastikan hak konstitusional rakyat atas tanah terlindungi secara hukum.
- Tekanan politik dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan agraria.
- Budaya patronase senior-junior yang masih kental, sehingga seringkali melemahkan inisiatif kader muda dalam mengambil peran strategis.
- Keterbatasan sumber daya, baik dalam bentuk pendanaan maupun kapasitas kader untuk melakukan advokasi secara efektif.
- Fragmentasi internal yang melemahkan konsolidasi gerakan dan koordinasi lintas wilayah.
- Pendidikan dan Pelatihan Paralegal: Penguatan kapasitas kader melalui pendidikan advokasi dan hukum agraria menjadi langkah mendesak untuk membekali mereka dalam menangani kasus-kasus di lapangan.
- Pembangunan Jaringan Kolaboratif: PMII harus menjalin kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, dan lembaga bantuan hukum untuk memperluas basis dukungan serta memperkuat posisi tawar dalam mendorong perubahan kebijakan.
- Solidaritas Gerakan dan Konsolidasi Internal: Diperlukan penguatan solidaritas antarstruktur PMII lintas wilayah untuk menciptakan gerakan yang lebih solid, terarah, dan berkesinambungan.
Post a Comment