Header Ads

Male Entitlement Tak Layak Diromantisasi



Ilustrasi by bahance.net


     Framing-framing sinetron dan drama romantis televisi kerap kali mengangkat topik tentang laki-laki yang mengejar-ngejar perempuan mati-matian untuk kemudian dimaknai sebagai suatu bentuk perjuangan. Tidak sedikit pula yang menganggap adegan tersebut merupakan tindakan so sweet yang mengundang iri bagi sebagian muda-mudi. Sementara ketika perempuan menolak mentah-mentah ajakan berkasih sang lelaki, maka sang lelaki akan menganggap hal tersebut bukanlah suatu bentuk penolakan secara harfiyah, namun boleh jadi perempuan hanya malu untuk mengakui. Bahasa gaulnya malu-malu kucing. Lalu dengan agresifnya lelaki akan melakukan segala cara untuk menundukkan perempuan tersebut sampai tergapai. 

    Tapi apakah dalam realitas kehidupan sosial, perkara tersebut adalah hal yang benar-benar manis dan normatif?

    Tiga hari yang lalu, kawan saya; ZF curhat mengenai sepak terjang perbucinannya. Ia bercerita bahwa seorang laki-laki telah menyatakan cinta dengan cara memaksa, meskipun bukan secara fisik. Kejadian ini telah berlangsung cukup lama, namun baru sempat diungkapkan, sebab takut dianggap mengkampanyekan ‘’kebrengsekannya sebagai perempuan’’ 

    Ia dihantui algoritma karma yang menyulut rasa bersalahnya, sementara si laki-laki yang mengejar-ngejarnya, seperti stalker yang mengusik hidupnya dua puluh empat jam. Setiap ZF di suatu tempat random, ia selalu mendapatkan pesan foto pap dirinya, ia di paparazi dari kejauhan, sebuah steatmen selalu bersama yang mengerikan. 

    Yap, ZF ini dikuntit sampai dia pindah kos agar tak lagi terjangkau.

    Na’asnya setiap kali ZF curhat ke orang-orang, tanggapan mereka justru mendukung dan cenderung mencomblangkan ZF dengan si stalker.

    ‘’So sweet, punya secreet admirer.’’

    ‘’Bener-bener lelaki tak pantang menyerah.’’

    ‘’Omaygatt, kaya di wattpadd-wattpadd. Pasti kalo kalian jadian, doi bakal bucin banget.’’

    Kurang lebih begitu tanggapan mereka jika diredaksikan. 

    Lantas, apakah sudut pandang mereka benar-benar aware dengan yang sesungguhnya terjadi? 

    Mari saya kenalkan dengan fenomena Male Entitlement

    Male Entitlement yaitu keinginan untuk selau mencari dan menjaga kekuasaan dan kekuatan yang menurut patriarki adalah hak pria. Ketika pria tidak mendapatkan penolakan atas kekuasaan atau kekuatannya, ia akan merasa malu dan mendorong lelaki untuk membuktikan kekuasaannya dengan cara yang agresif. 

    Male entitlement juga bisa diartikan sebagai ide/pandangan yang mengutamakan apa yang seharusnya laki-laki dapatkan dan menuntut perempuan untuk melayani atau memenuhi keinginannya.

    Dari sini, indikasinya jelas. Kasus ZF mencerminkan  bagaimana si stalker terobsesi mendominasi ZF bahkan dengan segala intimidasinya pelaku menjajah ranah privasi ZF sehingga ZF merasa ketakutan berkepanjangan.  Perkara ini jelas merugikan karena mempengaruhi kondisi psikis ZF dan menghambat keleluasaan ruang gerak ZF. 

20 Juli 2021 lalu juga terjadi  satu contoh dari sekian kasus male entitlement. Zahir Zakir Jaffer, pria asal Pakistan  membunuh Noor Muqaddam sebab ditolak lamarannya. Noor disiksa, dibunuh, hingga akhirnya dipenggal.

Dari sini seharusnya kita menyadari bahwasanya perempuan sekelas Noor, putri seorang mantan Duta besar  di negrinya saja bisa menjadi korban dari kejamnya dampak toxic maskulinity, apalagi kelompok rentan?

Yap, male entitlement jika kita kuliti satu persatu merupakan dampak dari toxic maskulinity. Mari kita renungi bersama-sama pembaca yang budiman.

Beberapa wilayah asia telah diakui sebagai wilayah yang cukup patriarkis, mengapa? Sejak bangku TK kita sudah familier dengan ajaran Ibu sedang masak di dapur, ayah bekerja di kebun atau Budi sedang bermain bola, ani bermain boneka.

    Lantas, kita juga familiar dengan lagu Supermen - The Lucky Laki. yang kurang lebih liriknya demikian;

    ‘’Ayahku selalu, memarahi aku, laki-laki tak boleh nangis. Harus slalu kuat, harus slalu tangguh, harus bisa jadi tahan banting…’’

    ‘’Kata Ayah slalu air mata itu, adalah tanda kelemahan…’’

Dilansir dari jurnal berjudul; Gender and Domination In Person yang ditulis oleh Terry Kupers (psikiater yang memiliki latar belakang psikoterapi psikoanalisis) Toxic Makulinity adalah sebuah sifat dalam sosial, yang mendorong adanya dominasi sifat maskulin, sifat merendahkan (terutama pada perempuan), homofobia, dan tindak kekerasan asusila.

Dogma-dogma yang menggaungkan bahwa seharusnya laki-laki bersikap superior, tidak boleh lemah, tidak boleh gagal, harus bekerja di sektor ini, harus bertingkah sedemikian itu, sebetulnya hanyalah konstruksi sosial, bukan kodrat yang harus benar-benar dilakukan.

Namun, olok-olokan tentang betapa pecundangnya laki-laki yang tidak baik-baik saja, betapa pengecutnya laki-laki yang gagal, sangat memberi peluang kepada laki-laki untuk memiliki naluri menghalalkan segala cara demi ambisinya, termasuk jika harus mendominasi perempuan sampai merugikan secara fisik maupun mental. 

Maka dari itu, mari kita membuka mata. Isu gender bukanlah bualan semata. Bukan sesederhana perempuan yang sok keras menantang society demi sebuah eksistensi, dua kasus di atas hanya segelintir di antara sekian banyak yang tak pernah terpikir. Semacam fenomena gunung es, yang nampak kecil dipermukaan laut, namun sebetulnya sangat besar jika di lihat di kedalaman laut. 

Kurang lebih, yang perlu digaris bawahi adalah kita semua diciptakan oleh Tuhan secara merdeka, yang menjajahmu bukan kodrat-Nya melainkan stigma-stigma yang tak utuh melihatmu sebagai manusia 


Penulis: Lubna Laila

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.